Balas Budi Untuk Ibu…… (sebuah renungan)
Berhenti Sejenak
Sahabat... Mari kita berhenti sejenak, mengamati kembali bekas-bekas langkah kita dalam kehidupan ini. Melihat dengan cermat apa-apa yang telah kita lakukan selama ini. Perhatikan saudaraku, sudahkah langkah-langkah kita berangkat dari tempat yang baik? Sudahkah dalam perjalanannya dia berbelok di tempat-tempat yang semestinya? Dan yang paling penting, sudahkah langkah-langkah kita menuju kepada-Nya?
Andai kita mau jujur, mungkin kita akan mampu melihat bahwa langkah-langkah kita ternyata sering berselisih dengan kehendak-Nya. Tengoklah kehidupan kita, sementara demikian banyak saudara kita mengais sesuap nasi, masih sering kita biarkan butiran-butiran nasi tersisa di piring kita dan terbuang percuma.
Ketika banyak saudara kita berhutang kesana kemari, masih sering kita membeli barang-barang mewah yang sesungguhnya tidak terlalu berguna. Ketika Allah memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya, masih sering kita lalai dan menyibukkan diri kita dengan berbagai fasilitas yang sesungguhnya hanya titipan-Nya.
Belum lagi jikalau kita mengingat bahwa ternyata kehidupan kita selama ini belum berorientasi kepada-Nya. Waktu yang telah kita lewatkan ternyata lebih banyak untuk kepentingn dunia kita. Mari tanyakan kepada diri kita : Berapa banyak waktu telah kita gunakan untuk beribadah kepada-Nya? Berapa banyak waktu telah kita habiskan untuk membaca firman-Nya? Berapa banyak ilmu yang telah kita pelajari untuk meningkatkan iman kepada-Nya?
Saudaraku... Apakah hati-hati kita telah terlalu jauh dari-Nya? Sehingga sulit bagi kita untuk mengingat bahwa semua yang terjadi hanyalah atas kehandak-Nya? Sehingga sulit bagi kita menyadari bahwa semua milik kita hanya dititipkan-Nya sementara? Apakah kita telah menjadi manusia sombong yang selalu mengalamatkan semua kesuksesan dan keberhasilan hidup kita kepada diri kita sendiri? Jikalau rasa itu masih ada, mari tanyakan kepada diri kita : Tak takutkah kita jika Allah mengadzab kita atas kesombongan itu? Tak takutkah kita jika Allah menarik semua titipan-Nya karena kita telah berkhianat kepada-Nya? Lupakah kita bahwa Allah telah berfirman akan mengadzab orang-orang yang kufur nikmat?
Saudaraku... Jikalau langkah-langkah kita ternyata telah jauh dari keridhaan-Nya, telah menyimpang dari kehendak-Nya. Maka duduklah sejenak, mari kita berhenti dan bersiap berbelok segera sebelum semua terlambat. Allah masih demikian sayang kepada kita dan mengizinkan kita untuk tetap menikmati kehidupan di dunia ini. Jikalau terselip secarik keinginan untuk memohon ampun kepadanya, bergegaslah!!! Semoga dengan kesungguhan hati kita, berbuah pada keridhaan Allah Ta'ala. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan membersihkan diri.
“Segalanya Untukmu”
Curahan hati ini...................
Aku tidak tahu mesti bagaimana lagi, entah harus aku hentikan dimana “langkahku”. Semakin lama, maka semakin jauh aku “melangkah” dalam sebuah “keanehan”. Jejak-jejak langkah “aneh” yang secara sadar ku buat hanya untuk keinginan sesaat. Mungkin jika orang lain tahu apa yang telah terjadi pada “langkahku”, maka kupastikan akan sulit orang itu untuk dapat mempercayai. Terimakasih Ya Allah, hingga detik ini Engkau masih “sudi” menyembunyikan “langkah-langkah kotorku”.
Haah… lelah rasanya, penat sudah rasa dihati ini. Jiwa ini akan menjadi sakit bila aku terus selalu seperti ini. Entah apa yang terjadi, seolah ada kesenjangan antar diri dalam lingkup yang berbeda. Apakah kenyamanan jiwa hanya ada pada kondusifitas..?? entah yang mana diri sebenarnya. Satu sisi aku harus menjadi teladan, akan tetapi disatu sisi yang lain seolah aku menjadi seorang yang “tidak ber-ilmu”. Ilmu dan Kepahaman yang telah ada pada diriku seketika berubah menjadi perisai-perisai bagi “langkah-langkah kotorku”. Astaghfirullah….!.
Sampai detik ini pun aku tidak mengerti mengapa ini dapat terjadi. Kini Baru kurasakan Istiqomah itu ternyata lebih sulit daripada memulai. Karena ketika gagal bertahan untuk istiqomah, maka sejatinya aku harus memulai segalanya untuk kembali seperti semula. Dan ternyata kini ku berada dalam golongan manusia yang selalu berfikir pada akhir, bukan diawal. Waktu-waktu yang kupakai untuk melangkah dalam sekejap habis dengan kesia-siaan, habis tanpa pemaknaan yang berarti, habis hanya untuk berbohong agar dapat menutupi segala hal yang tidak sesuai dengan “keinginan diriku”, tanpa kemudian merasa tahu dan berfikir bahwa semua waktu itu harus kupertanggungjawabkan kelak. Ampuni hamba-Mu ini Ya Allah…
Jujur, aku butuh “pegangan” yang bukan hanya bisa menahan aku ketika akan jatuh. Tetapi “pegangan” yang dapat mengingatkan ku jauh sebelum aku akan jatuh. Aku jenuh akan semua system dan “tetek bengeknya”, akan semua penilaian-penilaian “manusiawi” yang hanya berdasarkan pada “penampakan” belaka, kemudian seolah berkata bahwa saya tahu “hitam-putih” nya dirimu! Tanpa kemudian mengerti bagaimana sesungguhnya. Pensil yang berada didalam gelas berisi air akan tetap dikatakan bengkok, walaupun pada kenyataan nya pensil itu lurus. Apakah semua harus “menyerah” pada kondusifitas keadaan..??
Bukankah sudah menjadi “manusiawi” bahwa penyesalan itu hampir selalu ada pada akhirnya. Akan tetapi, seperti apa seharusnya aku menyudahi segala “langkah-langkah kotorku” dengan segala penyesalan nya ini..? apakah pensil harus keluar dari gelas yang berisi air hanya untuk dikatakan bahwa pensil itu tidak bengkok atau bahkan tidak patah..?! penilaian manakah yang paling sejati untuk “diakui”..
Lalu harus bagaimana…??
Takkan mungkin aku terus bertahan dalam keadaan seperti ini, cukup sudah kelelahan-kelelahan yang tercipta pada diri ini hanya untuk berlari dan sembunyi dari sebuah kenyataan bahwa langkahku sudah sangat “kotor” Ya Allah….
Aku takut, jikalau aku tidak punya waktu lagi untuk dapat “membersihkan” langkah-langkahku.
Aku takut, walaupun kemudian engkau memberiku waktu, tapi kemudian Engkau “enggan” membersihkan dan menerima “langkah-langkahku” ini, meskipun Ampunan-Mu sangatlah seluas.
Aku takut jikalau diriku tidak sempat lagi membuat dua orang yang sangat menyayangiku berbahagia dan bangga akan diriku. Adalah penyesalan bagi diriku, jika mereka berdua kelak tidak mempunyai kesempatan lagi untuk dapat melihat aku menjadi berhasil, merasakan kebahagiaan, dan kasih sayang dari diriku hanya karena kelalaian dan ke-egoisan diriku. Bukankah RidhoMu juga ada pada Ridho mereka berdua…. Maafkan aku mama, bapak, hingga detik ini kalian berdua belum merasakan semua hal itu dari diriku.
Aku takut, sudah tidak ada lagi tempat bagi diriku dan “langkahku” yang telah kotor ini untuk dapat bergabung dengan “langkah” orang-orang yang Engkau Ridhoi.
Ya Allah Semoga dengan datangnya bulan nan suci ini, hamba bisa membersihkan langkah-langkahku, dan menjadi lebih baik dari sebelumnya…………….! Amin….!